Sebuah cerita dari kisah yang sudah memasyarakat ditanah jawa adalah kisah
dari dua Roro (gadis) yaitu Roro Jonggrang dan Roro Mendut. Ternyata terdapat
konsep cinta didalam kisahnya, yang menginspirasi masyarakat setempat bahwa
kalau seorang pria mempunya hak untuk memilih dan seorang wanita mempunyai hak
untuk menolak. Apakah hal ini terbukti dalam cerita dari naskah babad jawa ini?
Baik, secara garis besar berikut ini adalah kisah dua Roro tersebut.
Roro Jonggrang
Terjadi disekitar abad ke-9, didaerah Yogyakarta dan
Surakarta (Solo) berawal dari Kerajaan Baka yang diperintah oleh Prabu Baka
yang ingin berekspansi memperluas wilayahnya, dengan menaklukkan kerajaan
tetangga termasuk Kerajaan Pengging yang diperintah oleh Prabu Damar Moyo.
Prabu Baka memerintahkan Patih Gupala untuk menyusun kekuatan dengan tujuan
menaklukkan Kerajaan Pengging, alhasil beberapa wilayah Pengging dapat
ditaklukkan. Lantas, mendengar hal itu Prabu Damar Moyo memanggil putranya,
Bandung Bondowoso yang tersohor dengan kedigdayaan atau kesaktiannya untuk
menumpas pasukan dari Baka. Bandung Bondowoso telah berhasil memukul mundur
pasukan Baka dan merebut wilayahnya kembali. Patih Gupala memberitahukan hal
ini pada Prabu Baka, tidak terima dengan kejadian ini, akhirnya Prabu Baka
turun tangan dan menghadapi Bandung Bondowoso dalam sebuah pertarungan. Dengan
adu kesaktian akhirnya Prabu Baka tewas ditangan Bandung Bondowoso, pasukan
Baka ditarik mundur kembali ke pusat Istana Baka dipimpin oleh Patih Gupala dan
memberitakan kematian sang Prabu kepada Putrinya, yang cantik dan langsing
(jonggrang) dialah Roro Jonggrang. Bandung Bondowoso tetap mengejar sisa
pasukan yang lari ke istana dan mendapati sang putri, karena kecantikannya,
timbul hasrat untuk memilikinya. Sungguh berat hatinya menerima pinangan dari
Bandung Bondowoso, karena ayahandanya Prabu Baka tewas ditangannya, akhirnya
Roro Jonggrang mengajukan dua syarat, yang pertama, Bandung Bondowoso disuruh
membuat sebuah sumur, seketika itu ia mengerjakan perintah sang putri. Ketika
Bandung Bondowoso berada dibawah sumur, Roro Jonggrang memerintahkan Patih
Gupala untuk menimbunnya dengan bebatuan. Dengan kedigdayaannya, Bandung
Bondowoso, berhasil lepas dari timbunan batu tersebut dan melampiaskan
amarahnya pada sang putri, walaupun demikian Roro Jonggrang pun berhasil
meredakan amarahnya dengan rayuannya. Setelah berhasil dengan syarat yang
pertama, maka dilanjutkan dengan syarat kedua, untuk membangun seribu candi
dalam sehari hingga fajar menyingsing. Bandung Bondowoso menyanggupinya, dengan
mengerahkan seluruh kesaktiannya, akhirnya dia bisa menyelesaikan 999 candi dan
tinggal tersisa satu candi sebelum fajar. Mengetahui kehebatannya dan bisa
menyelesaikannya sebelum fajar, Roro Jonggrang akhirnya menyuruh Patih Gupala
memerintahkan penduduk untuk menumbung padi, membuat asap, menyuruh ayam
berkokok. Betapa murkanya Bandung Bondowoso tahu akan hal itu, tanpa basa basi
lagi dengan kesaktiannya sang putri dirubah menjadi sebuah patung. Seribu candi
yang dibangun Bandung Bondowoso dinamakan Candi Sewu juga sumur yang dibuatnya
dinamakan Sumur Jolotundo dan sebuah patung yang terkenal dengan sebutan Arca
Durga Mahisashunamardini terdapat diruang utara Candi Prambanan yang merupakan
jelmaan dari Roro Jonggrang.
Roro Mendut
Berangkat dari jaman Kesultanan Mataram tahun 1627,
pergolakan Kadipaten Pati menentang Kerajaan Mataram yang pada waktu itu
diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kerajaan Mataram berlokasi di
sekitar Yogyakarta ini, mempunyai misi memperluas wilayah kerajaan menyisir
kerajaan-kerajaan dipantai utara jawa termasuk kadipaten (kabupaten) Pati yang
dipimpin oleh Adipati Pragola. Ditengah perlawanan Kerajaan Mataram berhasil
menundukkan wilayah-wilayah kecil di Pati, membuat Adipati Pragola turun gunung
menghalau pasukan mataram. Dengan peninggalan kere waja (baju zirah) milik
seorang berkebangsaan portugis, Baron Sekeber, membuat Adipati Pragola cukup
tangguh di medan laga. Baron Sekeber merupakan seorang juru taman di Kadipaten
Pati yang ternyata menyukai selir kesayangan Adipati Pragola, siapa lagi kalau
bukan si Roro Mendut, cantik dan seksi itulah prediksi sang Baron. Terjadilah
perselingkuhan diantara mereka dan menghasilkan dua anak kembar, hal ini
tentunya membuat marah sang Adipati, tanpa ampun membunuh dua anak kembar
tersebut berikut Baron Sekeber, tetapi mengampuni si cantik Roro Mendut.
Sesuatu yang mistis terjadi dari arwah kedua anak kembar Baron, yang satu
menyusup ke baju zirah Pragola, yang satu lagi menyusup ke pusaka milik Sultan
Agung, yang tersohor dengan sebutan Tombak Kyai Baru Klinting dan penasehat
Sultan Agung, Nayadarma, mengetahui peristiwa itu. Ketika perang dimulai lagi,
Nayadarma memohon ijin meminjam pusaka milik Sultan tersebut untuk menghadapi
Adipati Pragola, akhirnya sang Adipati tewas dan pasukan Mataram mulai
melakukan penyisiran serta menduduki Kadipaten Pati, dipimpin seorang panglima
yang cukup disegani lawan, yaitu Tumenggung Wiroguno. Ketika menyisir bilik di
kaputren, ternyata Wiroguno terpikat dengan kemolekan Roro Mendut, yang pada
akhirnya diboyong ke Mataram. Pada suatu kesempatan Roro Mendut tertarik dengan
ketampanan Pronocitro, pengawal dari Tumenggung Wiroguno. Akhirnya mereka
berdua menjalin hubungan asmara secara diam-diam, kekerasan hati Roro Mendut
untuk dipersunting tidak bisa ditaklukkan Wiroguno, walaupun hal yang negatif bisa dia lakukan pada Roro Mendut tetapi saking sayangnya dia padanya, Roro
Mendut hanya dibebankan pungutan pajak. Bermodal kecantikan dan kemolekan
tubuhnya, mulai menjajakan rokok yang telah dihisapnya untuk dijual pada
orang-orang yang menjadi penggemarnya dan tetap menjalin cinta kasihnya dengan
si Pronocitro. Wiroguno mengendus hubungan asmara mereka berdua, dan bersiap
membunuh Pronocitro. Setelah menemukan mereka berdua Tumenggung Wiroguno
mencabut keris pusaka yang cukup panjang dari sangkarnya untuk membunuh
Pronocitro, dengan cepat Roro Mendut menghalangi dan tak ayal lagi hunusan
keris Wiroguno menancap pada dada Roro Mendut hingga keluar dan sisa ujung
keris menancap tepat pada jantung Pronocitro. Mereka berdua tewas dalam satu
hunusan keris dengan sikap pelukan.
Dari cerita ini, konsep cinta dikaitkan dengan era
sekarang bahwa seorang pria mempunyai hak untuk memilih, dikarenakan seorang
pria mempunyai kekuasaan, harta benda dan kedudukan atau bisa dikatakan
mempunyai penampilan, uang dan pekerjaan. Disini terlihat tipe pria dengan
agresifitasnya dalam urusan asmara, keinginan untuk mendapatkan atau memilih
wanita yang akan dicintainya adalah wajar. Sedangkan wanita dengan sensitifitasnya,
mempunyai hak untuk menolaknya karena prinsip cinta yang tidak bisa dipaksa
begitu saja. Dan terbuktilah konsep cinta dari cerita dua Roro tersebut.
Sekarang pun dominasi pria utuk memilih wanita idaman masih tetap, lantas jika
dibalik wanita memilih dan pria menolak, bagaimana? Berkembangnya era ke era,
perubahan jaman ke jaman, tuntutan dan gaya hidup, timbulnya emansipasi sangat
mungkin wanita berhak memilih pria idamannya dan pria berhak menolak jika
memang tidak menyukainya. Satu hal yang perlu diingat
dari cerita dua Roro, jika Bandung Bondowoso dan Wiroguno bukan karena dumeh
kuoso (mentang-mentang berkuasa punya derajat, kesaktian dan kedudukan) tapi
perlunya memberi perhatian dan kasih sayang pada orang yang akan dicintainya
untuk mendapatkan hatinya, inilah yang terlupakan dan semua itu ada prosesnya.
Disini disimpulkan bahwa dengan harta dan jabatan kita bisa mendapatkan
wanita tetapi bukan jaminan untuk mendapatkan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar