Sabtu, 29 April 2017

Konsep Cinta Dari Cerita Dua Roro

Sebuah cerita dari kisah yang sudah memasyarakat ditanah jawa adalah kisah dari dua Roro (gadis) yaitu Roro Jonggrang dan Roro Mendut. Ternyata terdapat konsep cinta didalam kisahnya, yang menginspirasi masyarakat setempat bahwa kalau seorang pria mempunya hak untuk memilih dan seorang wanita mempunyai hak untuk menolak. Apakah hal ini terbukti dalam cerita dari naskah babad jawa ini? Baik, secara garis besar berikut ini adalah kisah dua Roro tersebut.

Roro Jonggrang


Terjadi disekitar abad ke-9, didaerah Yogyakarta dan Surakarta (Solo) berawal dari Kerajaan Baka yang diperintah oleh Prabu Baka yang ingin berekspansi memperluas wilayahnya, dengan menaklukkan kerajaan tetangga termasuk Kerajaan Pengging yang diperintah oleh Prabu Damar Moyo. Prabu Baka memerintahkan Patih Gupala untuk menyusun kekuatan dengan tujuan menaklukkan Kerajaan Pengging, alhasil beberapa wilayah Pengging dapat ditaklukkan. Lantas, mendengar hal itu Prabu Damar Moyo memanggil putranya, Bandung Bondowoso yang tersohor dengan kedigdayaan atau kesaktiannya untuk menumpas pasukan dari Baka. Bandung Bondowoso telah berhasil memukul mundur pasukan Baka dan merebut wilayahnya kembali. Patih Gupala memberitahukan hal ini pada Prabu Baka, tidak terima dengan kejadian ini, akhirnya Prabu Baka turun tangan dan menghadapi Bandung Bondowoso dalam sebuah pertarungan. Dengan adu kesaktian akhirnya Prabu Baka tewas ditangan Bandung Bondowoso, pasukan Baka ditarik mundur kembali ke pusat Istana Baka dipimpin oleh Patih Gupala dan memberitakan kematian sang Prabu kepada Putrinya, yang cantik dan langsing (jonggrang) dialah Roro Jonggrang. Bandung Bondowoso tetap mengejar sisa pasukan yang lari ke istana dan mendapati sang putri, karena kecantikannya, timbul hasrat untuk memilikinya. Sungguh berat hatinya menerima pinangan dari Bandung Bondowoso, karena ayahandanya Prabu Baka tewas ditangannya, akhirnya Roro Jonggrang mengajukan dua syarat, yang pertama, Bandung Bondowoso disuruh membuat sebuah sumur, seketika itu ia mengerjakan perintah sang putri. Ketika Bandung Bondowoso berada dibawah sumur, Roro Jonggrang memerintahkan Patih Gupala untuk menimbunnya dengan bebatuan. Dengan kedigdayaannya, Bandung Bondowoso, berhasil lepas dari timbunan batu tersebut dan melampiaskan amarahnya pada sang putri, walaupun demikian Roro Jonggrang pun berhasil meredakan amarahnya dengan rayuannya. Setelah berhasil dengan syarat yang pertama, maka dilanjutkan dengan syarat kedua, untuk membangun seribu candi dalam sehari hingga fajar menyingsing. Bandung Bondowoso menyanggupinya, dengan mengerahkan seluruh kesaktiannya, akhirnya dia bisa menyelesaikan 999 candi dan tinggal tersisa satu candi sebelum fajar. Mengetahui kehebatannya dan bisa menyelesaikannya sebelum fajar, Roro Jonggrang akhirnya menyuruh Patih Gupala memerintahkan penduduk untuk menumbung padi, membuat asap, menyuruh ayam berkokok. Betapa murkanya Bandung Bondowoso tahu akan hal itu, tanpa basa basi lagi dengan kesaktiannya sang putri dirubah menjadi sebuah patung. Seribu candi yang dibangun Bandung Bondowoso dinamakan Candi Sewu juga sumur yang dibuatnya dinamakan Sumur Jolotundo dan sebuah patung yang terkenal dengan sebutan Arca Durga Mahisashunamardini terdapat diruang utara Candi Prambanan yang merupakan jelmaan dari Roro Jonggrang.

Roro Mendut


Berangkat dari jaman Kesultanan Mataram tahun 1627, pergolakan Kadipaten Pati menentang Kerajaan Mataram yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kerajaan Mataram berlokasi di sekitar Yogyakarta ini, mempunyai misi memperluas wilayah kerajaan menyisir kerajaan-kerajaan dipantai utara jawa termasuk kadipaten (kabupaten) Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola. Ditengah perlawanan Kerajaan Mataram berhasil menundukkan wilayah-wilayah kecil di Pati, membuat Adipati Pragola turun gunung menghalau pasukan mataram. Dengan peninggalan kere waja (baju zirah) milik seorang berkebangsaan portugis, Baron Sekeber, membuat Adipati Pragola cukup tangguh di medan laga. Baron Sekeber merupakan seorang juru taman di Kadipaten Pati yang ternyata menyukai selir kesayangan Adipati Pragola, siapa lagi kalau bukan si Roro Mendut, cantik dan seksi itulah prediksi sang Baron. Terjadilah perselingkuhan diantara mereka dan menghasilkan dua anak kembar, hal ini tentunya membuat marah sang Adipati, tanpa ampun membunuh dua anak kembar tersebut berikut Baron Sekeber, tetapi mengampuni si cantik Roro Mendut. Sesuatu yang mistis terjadi dari arwah kedua anak kembar Baron, yang satu menyusup ke baju zirah Pragola, yang satu lagi menyusup ke pusaka milik Sultan Agung, yang tersohor dengan sebutan Tombak Kyai Baru Klinting dan penasehat Sultan Agung, Nayadarma, mengetahui peristiwa itu. Ketika perang dimulai lagi, Nayadarma memohon ijin meminjam pusaka milik Sultan tersebut untuk menghadapi Adipati Pragola, akhirnya sang Adipati tewas dan pasukan Mataram mulai melakukan penyisiran serta menduduki Kadipaten Pati, dipimpin seorang panglima yang cukup disegani lawan, yaitu Tumenggung Wiroguno. Ketika menyisir bilik di kaputren, ternyata Wiroguno terpikat dengan kemolekan Roro Mendut, yang pada akhirnya diboyong ke Mataram. Pada suatu kesempatan Roro Mendut tertarik dengan ketampanan Pronocitro, pengawal dari Tumenggung Wiroguno. Akhirnya mereka berdua menjalin hubungan asmara secara diam-diam, kekerasan hati Roro Mendut untuk dipersunting tidak bisa ditaklukkan Wiroguno, walaupun hal yang negatif bisa dia lakukan pada Roro Mendut tetapi saking sayangnya dia padanya, Roro Mendut hanya dibebankan pungutan pajak. Bermodal kecantikan dan kemolekan tubuhnya, mulai menjajakan rokok yang telah dihisapnya untuk dijual pada orang-orang yang menjadi penggemarnya dan tetap menjalin cinta kasihnya dengan si Pronocitro. Wiroguno mengendus hubungan asmara mereka berdua, dan bersiap membunuh Pronocitro. Setelah menemukan mereka berdua Tumenggung Wiroguno mencabut keris pusaka yang cukup panjang dari sangkarnya untuk membunuh Pronocitro, dengan cepat Roro Mendut menghalangi dan tak ayal lagi hunusan keris Wiroguno menancap pada dada Roro Mendut hingga keluar dan sisa ujung keris menancap tepat pada jantung Pronocitro. Mereka berdua tewas dalam satu hunusan keris dengan sikap pelukan.

Dari cerita ini, konsep cinta dikaitkan dengan era sekarang bahwa seorang pria mempunyai hak untuk memilih, dikarenakan seorang pria mempunyai kekuasaan, harta benda dan kedudukan atau bisa dikatakan mempunyai penampilan, uang dan pekerjaan. Disini terlihat tipe pria dengan agresifitasnya dalam urusan asmara, keinginan untuk mendapatkan atau memilih wanita yang akan dicintainya adalah wajar. Sedangkan wanita dengan sensitifitasnya, mempunyai hak untuk menolaknya karena prinsip cinta yang tidak bisa dipaksa begitu saja. Dan terbuktilah konsep cinta dari cerita dua Roro tersebut. Sekarang pun dominasi pria utuk memilih wanita idaman masih tetap, lantas jika dibalik wanita memilih dan pria menolak, bagaimana? Berkembangnya era ke era, perubahan jaman ke jaman, tuntutan dan gaya hidup, timbulnya emansipasi sangat mungkin wanita berhak memilih pria idamannya dan pria berhak menolak jika memang tidak menyukainya. Satu hal yang perlu diingat dari cerita dua Roro, jika Bandung Bondowoso dan Wiroguno bukan karena dumeh kuoso (mentang-mentang berkuasa punya derajat, kesaktian dan kedudukan) tapi perlunya memberi perhatian dan kasih sayang pada orang yang akan dicintainya untuk mendapatkan hatinya, inilah yang terlupakan dan semua itu ada prosesnya. Disini disimpulkan bahwa dengan harta dan jabatan kita bisa mendapatkan wanita tetapi bukan jaminan untuk mendapatkan cinta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar